BOX REDAKSI




Diterbitkan Oleh :PT. MEDIA KORAN CIREBON


NOMOR AHU: AHU-0027510.AH.01.01TAHUN 2025


Berdasarkan : UU No. 40. Tentang PERS

Oleh : YAYASAN INSAN PERS PANTURA

SK. Menkumham : No. AHU : AHU-015060.AH.01.30.TAHUN2022

NPWP PT. 65.195.714.4-421.000




Akta Pendirian No.8 Tanggal 16 Desember 2016 Notaris Achmad Nawawi,SH,M.kn

Pendiri : Agus Manurung, SE.SH.MH., Asih Mintarsih / Firda


Dewan Pembina : Agus Manurung, SE.SH.MH., Dr. H. Diding Syafrudin. Asep Nana, Mulyadi Z


Penasihat Hukum : Agus Manurung, SE.SH.MH., Dr. H. Dr.Lusia Sulastri S.H.M.H. (Jasmine), Dodi Dosanto SH, Umar Amaro SH


Pemimpin Umum : Darma Kusuma


Pemimpin Perusahaan : Asih Mintarsih


Pemimpin RedaksI : Firda Asih


Wakil Pemimpin RedaksI : Asep Nana


Dewan Redaksi : Dr. H. Diding Syarifudin H. Darma Kusuma, Wastija, Ferry Rusdiono, Brigjen Pol (P) DRS. A. Rusno Prihardito , Rudi, Wagi Altasya, Ating


Redaktur : Agus Budiman


Editor : Nurrudin


Korlap : Agus Tri, Rukma Hermada


Sekertaris Redaksi : Mala Sari Wangi


Bendahara Redaksi : Valeriana Ernowo


Staff Redaksi : Muali, Andri, Rendy Setiawan, Shidiq Wibisono, Showadi, Nurkaman SH, Betran Ernowo, Rizqin, Khaerunisa, M. Yusuf


Pemasaran : Renaldo Ernowo SE


Layout : Jegrog


Kaperwil Jabodetabek : Amos Mainase


Kaperwil Jateng :


Korwil : Nurzaman


Korwil Lampung :


Investigasi : .


KABIRO KORAN CIREBON


Kota Cirebon : Piem Apriyanto. Tedi


Kabupaten Cirebon : Reynaldi


Cirebon Timur : Dasuki


Cirebon Utara : Supriyadi


Cirebon Barat : Diding .


Indramayu : Agus Suherman


Kuningan :


Majalengka : Dede Sukmara,


Cimahi :


Bali :


Subang : Gusman


Garut : Beni Nugraha AMD.KD


Bengkulu :


Lampung Utara : / Okti


Tegal :



Brebes :


WARTAWAN KORAN CIREBON


Kota Cirebon :Tatang, Godrianto, Dodi Agustian


Kab. Cirebon :Agus Irnawan, Suparman, Safitri, Sulaeman


Subang :Arthur


Kuningan :


Majalengka : .


Indramayu :


Jabodetabek : Hendra, Martin LS


Jawa Tengah :


Jakarta (Wilayah Liputan KPK, Kementerian dll) : Feri Rusdiono

Jakarta : Fitri Herliani


Bandung : Jamaludin


Cimahi :


Bekasi : Siti Sarah


Bengkulu :

Cianjur : Moh. Arfin Yusuf

No. Rek BRI : 4130-01-012390-53-1

Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan :

KANTOR PUSAT: Perumahan Pejambon Van Java Kelurahan Pejambon Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon

Telp : 0895 7087 71888 - 0821 1776 2817

Percetakan : CV. Angkasa & Brother

Isi di luar tanggung jawab percetakan

Pengiriman Berita :redaksikorancirebon@gmail.com

koranecirebon@gmail.com

Iklan dan Pemasaran :

Navigation
Berita Terkini // Lihat Semua 

*Kembalikan Marwah dan Citra Institusi Penegak Hukum, Polri Harus Kembali ke Jati Diri Sebagai Polisi Rakyat*

 

*Oleh : Feri Rusdiono, SH*

  *Penulis Adalah salah satu Jurnalis Senior, Sekaligus Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat, Perkumpulan Wartawan Online Dwipantara (PWOD)*

  Reformasi Polri kembali menjadi pembahasan serius di ruang publik setelah lahirnya Peraturan Presiden Nomor 139 Tahun 2024. Regulasi ini mengubah peta kelembagaan dengan menempatkan Polri tidak lagi langsung di bawah Presiden, melainkan berada di bawah koordinasi Menko Polkam.

  Perubahan ini tentu bukan sekadar teknis birokrasi, melainkan mencerminkan sebuah pergeseran filosofi bagaimana negara menata aparat penegak hukum dan keamanan. Hal ini harus dibaca dengan jernih, kritis, sekaligus penuh harapan.

  Polri bukan hanya sekumpulan aparat berseragam, melainkan institusi yang berhubungan langsung dengan denyut nadi masyarakat. Setiap langkah, sikap, dan kebijakan mereka berdampak pada rasa aman publik.

  Selama ini, persepsi masyarakat terhadap Polri seringkali paradoksal. Di satu sisi, mereka dibutuhkan untuk melindungi, mengayomi, dan melayani. Namun di sisi lain, kepercayaan publik kerap tergerus oleh kasus penyalahgunaan kewenangan dan praktik yang jauh dari nilai keadilan.

  Reformasi Polri harus dimaknai sebagai kesempatan emas untuk kembali ke jati diri: Polisi Rakyat. Bukan polisi yang hanya mengabdi kepada kekuasaan, tetapi yang sepenuhnya hadir untuk rakyat.

  Konsep “Polisi Rakyat” bukan jargon kosong. Ia lahir dari semangat awal pembentukan Polri pasca-kemerdekaan, ketika polisi dipandang sebagai sahabat masyarakat, bukan alat penguasa.

  Dalam konteks geopolitik nasional maupun global, Polri dituntut mampu bersikap independen. Mereka tidak boleh terseret arus politik praktis, apalagi menjadi alat partisan.

  Menko Polkam sebagai koordinator baru bagi Polri, memiliki tantangan besar untuk memastikan koordinasi tidak berarti subordinasi. Polri harus tetap profesional, tetapi dalam kerangka sinergi bersama TNI dan lembaga lain.

*Tantangan keamanan ke depan semakin kompleks :*

  Dari kejahatan konvensional, terorisme, siber, narkotika, hingga konflik sosial berbasis identitas. Semua ini membutuhkan polisi yang cerdas, jujur, dan berpihak pada kepentingan bangsa.

  Maka, sosok Kapolri yang dibutuhkan hari ini bukanlah figur kompromistis yang sekadar “aman” bagi elite. Indonesia membutuhkan Pimpinan Polri dengan wajah baru : independen, non-partai, jujur, bersih, cerdas, serta memahami geopolitik lokal dan internasional.

  Pimpinan Polri bukan sekadar jabatan struktural, melainkan simbol kepercayaan rakyat terhadap institusi kepolisian. Jika rakyat kehilangan kepercayaan, maka sebesar apa pun instrumen kekuasaan yang melekat, Polri akan rapuh di mata publik.

  Keberanian dan ketegasan adalah syarat mutlak. Tapi keberanian itu harus lahir dari integritas, bukan dari arogansi. Tegas kepada penjahat, tetapi humanis kepada rakyat kecil.

  Polri harus berani memutus mata rantai “pesanan” dari pihak manapun. Seorang Kapolri ideal adalah yang bisa berdiri tegak di atas kepentingan bangsa, bukan sekadar menjalankan titipan segelintir orang.

  Karena itu, figur Kapolri mendatang harus dicintai rakyat. Ia hadir bukan dengan retorika, tetapi dengan aksi nyata yang menunjukkan bahwa Polri benar-benar kembali menjadi milik rakyat.

  Publik sudah terlalu sering disuguhi drama demi drama internal Polri : dari kasus etik, mafia hukum, hingga perilaku menyimpang segelintir oknum. Semua ini harus diakhiri dengan reformasi menyeluruh.

  Reformasi bukan hanya soal struktur kelembagaan, melainkan juga soal kultur. Budaya “feodal” di tubuh Polri yang masih memandang rakyat sebagai objek harus segera ditinggalkan.

*Budaya baru harus dibangun :*

Polisi yang hadir sebagai mitra rakyat, bekerja transparan, akuntabel, dan terbuka terhadap kritik.

  Untuk mencapai itu, pembenahan rekrutmen adalah hal mendasar. Polri tidak boleh lagi menjadi ajang jual-beli kursi. Yang masuk harus benar-benar karena kompetensi dan integritas, bukan karena “setoran”.

  Di sisi lain, kesejahteraan anggota Polri juga harus diperhatikan. Polisi yang sejahtera lebih mungkin menolak godaan korupsi.

  Negara tidak boleh hanya menuntut, tetapi juga memberi dukungan yang layak bagi aparat yang bekerja di garis depan menjaga keamanan rakyat.

  Sinergi Polri-TNI yang kini ditekankan lewat Menko Polkam harus dipahami dalam kerangka menjaga stabilitas nasional, bukan kompetisi antar-institusi.

*Keduanya memiliki peran berbeda :*

 *TNI* fokus pada pertahanan, *Polri* fokus pada keamanan internal. Tetapi keduanya harus kompak demi satu tujuan, kepentingan bangsa.

  Reformasi Polri juga harus memperkuat teknologi dan digitalisasi. Era kejahatan kini sudah lintas batas, dan hanya polisi yang melek digital yang mampu mengantisipasi ancamannya.

  Namun teknologi tidak akan berarti apa-apa tanpa moralitas. Polisi cerdas tapi korup hanya akan memperparah krisis kepercayaan.

  Karena itu, moral dan etika menjadi landasan utama. Integritas harus ditempa sejak pendidikan hingga penugasan di lapangan.

  Pengawasan internal Polri harus diperkuat, tetapi yang lebih penting adalah pengawasan eksternal. Rakyat harus diberi ruang untuk mengawasi polisi.

  Dewan pengawas independen bisa menjadi salah satu solusi untuk memastikan Polri tetap berada di jalur yang benar.

  Dalam demokrasi, Polri tidak boleh alergi terhadap kritik. Kritik adalah vitamin, bukan ancaman.

  Justru ketika rakyat berani mengkritik Polri, di situlah cinta rakyat masih ada. Yang berbahaya adalah ketika rakyat sudah apatis, tidak peduli, dan merasa polisi bukan lagi miliknya.

  Oleh sebab itu, Polri harus membuka diri dengan komunikasi publik yang jujur dan transparan. Setiap kebijakan harus bisa dijelaskan dengan logika yang dapat dipahami rakyat.

  Di tengah gejolak politik nasional, Polri harus mampu menjaga jarak. Mereka tidak boleh ikut masuk ke pusaran tarik-menarik kekuasaan.

  Netralitas Polri dalam Pemilu adalah ujian besar. Jika gagal, reformasi akan runtuh hanya karena hasrat sesaat.

  Tetapi jika berhasil, Polri akan kembali berdiri tegak sebagai institusi yang benar-benar dipercaya publik.

  Reformasi Polri juga harus memperhatikan dimensi lokal. Setiap daerah punya karakteristik sendiri. Polisi di Papua menghadapi tantangan berbeda dengan polisi di Jawa atau Maluku.

  Maka, pendekatan harus disesuaikan dengan kearifan lokal, tanpa kehilangan semangat nasional.

  Dengan begitu, Polri benar-benar bisa menjadi sahabat rakyat dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote.

  Semua ini hanya bisa tercapai jika pucuk pimpinan Polri benar-benar seorang reformis sejati, bukan sekadar pelanjut status quo.

  Kapolri yang lahir dari reformasi harus mampu menularkan semangat perubahan hingga ke level paling bawah.

  Tanpa itu, reformasi hanya akan berhenti di atas kertas, sementara rakyat tetap menghadapi polisi dengan rasa takut, bukan hormat.

  Pada akhirnya, reformasi Polri adalah jalan untuk mengembalikan kepercayaan publik. Polisi yang kembali ke jati diri sebagai Polisi Rakyat bukan hanya ideal, tetapi kebutuhan mendesak bagi Indonesia hari ini dan masa depan.

*Kesimpulan*

Reformasi Polri bukan lagi sebuah pilihan, melainkan kebutuhan mendesak demi menyelamatkan marwah dan jati diri Kepolisian Republik Indonesia. Polri harus kembali menjadi Polisi Rakyat, bukan alat kekuasaan, bukan pula institusi yang berdiri jauh dari denyut aspirasi masyarakat.

  DPR RI sebagai representasi kedaulatan rakyat memiliki tanggung jawab sejarah untuk meneguhkan arah reformasi ini. Melalui pengesahan Undang-Undang Reformasi Polri, parlemen dapat memastikan bahwa perubahan struktural, kultural, dan fungsional di tubuh Polri memiliki landasan hukum yang kuat, tidak sekadar berhenti pada Peraturan Presiden atau kebijakan internal semata.

  UU Reformasi Polri harus menjamin tiga hal mendasar: pertama, independensi Polri dari intervensi politik dan kepentingan sempit elite; kedua, pengawasan eksternal yang kuat dan partisipatif dari rakyat; ketiga, penguatan kapasitas profesionalisme dengan berlandaskan integritas dan keadilan.

  Tanpa payung hukum yang tegas, reformasi hanya akan menjadi jargon kosong. Dengan UU Reformasi Polri, bangsa ini menegaskan bahwa aparat penegak hukum tertinggi di bidang keamanan benar-benar hadir untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.

  Karena itu, DPR RI tidak boleh menunda lagi. Kepentingan rakyat jauh lebih utama daripada kepentingan politik jangka pendek. Saatnya legislatif berdiri bersama rakyat untuk menegakkan kembali cita-cita Polri yang sejati: Polisi Rakyat yang dicintai rakyat, dan mencintai rakyatnya.

  (Red)

Banner

Post A Comment: