*Opini*
-Oleh : Feri Rusdiono, SH.
Penulis Adalah Jurnalis Senior, Sekaligus Ketua Umum DPP Perkumpulan Wartawan Online Dwipantara.
Usulan yang digagas oleh Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Online Dwipantara (PWO Dwipa), Feri Rusdiono, terkait pengetatan syarat calon anggota legislatif, belakangan ini ramai diperbincangkan publik. Ide tersebut mengajukan standar baru yang lebih tinggi, mulai dari kualifikasi pendidikan, kemampuan bahasa asing, hingga pemeriksaan latar belakang hukum.
Gagasan ini muncul sebagai respons terhadap menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap parlemen. Berulang kali publik disuguhi berita anggota dewan terjerat kasus korupsi, tidak hadir rapat, atau bahkan melakukan tindakan yang mempermalukan lembaga negara.
Jika dibandingkan dengan sektor swasta, standar masuk menjadi anggota dewan memang terlihat jomplang. Untuk bekerja dengan gaji setara UMR saja, seseorang harus menunjukkan ijazah sarjana dan surat keterangan catatan kepolisian. Sementara itu, untuk menjadi wakil rakyat yang bergaji puluhan juta rupiah, syaratnya relatif lebih longgar.
Oleh karena itu, tidak heran bila usulan minimal lulusan S2 dianggap sebagai langkah maju. Dengan pendidikan yang lebih tinggi, diharapkan anggota dewan dapat memiliki wawasan yang lebih luas dalam memahami regulasi dan dinamika kebijakan publik.
Meski begitu, pertanyaan besar pun muncul: apakah pendidikan formal otomatis menjamin kualitas seorang wakil rakyat? Banyak tokoh bangsa yang tidak menamatkan pendidikan tinggi, tetapi mampu menjadi pemimpin besar berkat integritas, pengalaman, dan kedekatan mereka dengan rakyat.
Maka dari itu, jika usulan S2 ingin diterapkan, sebaiknya diimbangi dengan mekanisme khusus agar orang-orang dengan latar belakang pendidikan sederhana namun berintegritas tinggi tetap memiliki peluang. Misalnya melalui jalur afirmasi bagi aktivis, tokoh masyarakat, atau pejuang daerah.
Syarat TOEFL juga menjadi sorotan menarik. Di satu sisi, kemampuan bahasa asing memang penting untuk menghadapi isu global, diplomasi internasional, serta kerja sama antar-parlemen. Namun, di sisi lain, tidak semua anggota dewan akan berperan dalam urusan internasional.
Barangkali syarat TOEFL bisa diterapkan khusus bagi mereka yang duduk di komisi-komisi strategis, seperti hubungan luar negeri, perdagangan internasional, atau pertahanan. Sementara untuk anggota lain, cukup diwajibkan menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar agar kualitas legislasi tidak terganggu.
Hal yang paling diapresiasi dari usulan PWO Dwipa adalah kewajiban calon anggota legislatif menyerahkan SKCK. Catatan hukum yang bersih adalah syarat mutlak, mengingat parlemen adalah lembaga yang seharusnya menjadi teladan dalam penegakan hukum dan integritas publik.
Tidak kalah kontroversial adalah usulan penghapusan sistem pemilu langsung, diganti dengan “kontes” besar yang disiarkan televisi dan diakhiri dengan voting SMS. Bagi sebagian kalangan, ide ini terdengar segar sekaligus efisien karena memangkas biaya besar yang biasanya tersedot dalam kampanye politik.
Namun, sebagian lain menilai konsep ini justru berpotensi mengkomersialisasi politik. Politik bisa berubah menjadi tontonan hiburan, di mana penampilan lebih penting daripada kualitas visi dan misi. Padahal, esensi demokrasi adalah keterlibatan rakyat dalam memilih pemimpin berdasarkan substansi, bukan sekadar gaya.
Meski begitu, poin yang ditekankan Feri Rusdiono soal efisiensi anggaran memang sulit dibantah. Biaya politik yang terlalu mahal menjadi akar utama munculnya praktik politik uang dan korupsi. Dengan meminimalkan ongkos kampanye, kemungkinan anggota dewan “balik modal” setelah terpilih juga bisa ditekan.
Gagasan efisiensi anggaran lain juga patut diperhatikan. Misalnya, penghapusan tunjangan rumah yang diganti dengan pembangunan rumah susun dalam kompleks DPR. Jika direalisasikan, hal ini akan menghemat anggaran besar sekaligus meningkatkan kedisiplinan anggota dewan.
Selain itu, usulan penghapusan tunjangan pengawalan juga masuk akal. Dengan fasilitas rumah dinas yang dekat dengan kantor, anggota dewan sebenarnya tidak membutuhkan iring-iringan pengawal khusus. Privilege semacam itu sebaiknya hanya diberikan pada kendaraan darurat, seperti ambulans dan pemadam kebakaran.
Larangan rapat di hotel pun menjadi ide yang realistis. Selama ini, rapat-rapat di hotel sering dianggap sebagai pemborosan sekaligus modus terselubung untuk gratifikasi. Semua rapat sebaiknya dilaksanakan di kompleks DPR yang sudah memiliki fasilitas lengkap.
PWO Dwipa juga menyoroti perlunya pembekalan tambahan bagi anggota dewan, seperti bela diri, public speaking, hingga penguasaan aplikasi teknologi. Sekilas terlihat sederhana, tetapi ini penting agar anggota dewan tidak gagap digital dan terlalu bergantung pada staf khusus.
Usulan tes konsentrasi memang terdengar unik, bahkan nyeleneh. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa publik sering melihat anggota dewan tertidur saat rapat atau bahkan terjerat skandal judi online. Tes semacam ini bisa menjadi bentuk kontrol kedisiplinan, meski tentu perlu mekanisme yang lebih terukur.
Dari seluruh usulan tersebut, terlihat jelas bahwa inti keresahan PWO Dwipa adalah rendahnya kualitas parlemen dan borosnya anggaran negara. Kritik ini sebenarnya merepresentasikan aspirasi publik yang sudah lama menginginkan DPR lebih efisien, berwibawa, dan fokus bekerja.
Namun, perlu diingat pula bahwa memperketat syarat tidak boleh berarti menutup akses politik bagi rakyat kecil. Demokrasi seharusnya memberikan ruang yang luas bagi siapa pun untuk berpartisipasi, asalkan memenuhi standar integritas.
Oleh sebab itu, perlu ada keseimbangan antara pengetatan syarat dan inklusivitas. Pendidikan tinggi boleh dijadikan standar, tetapi harus ada jalur lain yang memungkinkan tokoh lokal atau rakyat biasa yang berprestasi tetap bisa maju.
Sementara itu, wacana voting SMS perlu didiskusikan lebih lanjut dengan melibatkan pakar demokrasi, agar tidak justru merusak sistem representasi politik yang sudah dibangun selama reformasi. Demokrasi memang mahal, tetapi demokrasi murahan yang berubah menjadi ajang hiburan tentu jauh lebih berbahaya.
Publik saat ini mendambakan parlemen yang bersih, efisien, dan berorientasi pada rakyat. Usulan PWO Dwipa setidaknya membuka ruang diskusi untuk mencari terobosan baru memperbaiki sistem politik yang sering dianggap buntu.
Jika usulan ini diterima, maka DPR ke depan bisa menjadi lembaga yang benar-benar dihormati karena kualitas dan integritas anggotanya. Tetapi jika ditolak mentah-mentah, paling tidak masyarakat sudah menyuarakan kekecewaannya dengan lantang.
Pada akhirnya, reformasi parlemen tidak boleh berhenti pada gagasan. Ia harus ditindaklanjuti dengan kebijakan nyata. Jika tidak, ketidakpercayaan publik terhadap DPR akan semakin dalam dan sulit dipulihkan.
Oleh karena itu, wacana dari PWO Dwipa ini harus dipandang bukan sekadar kritik, tetapi juga sebagai alarm. Alarm bahwa sudah waktunya kita melakukan evaluasi menyeluruh agar wakil rakyat benar-benar layak disebut wakil rakyat.
(Firda Asih)
Post A Comment: